Rabu, 23 November 2011

Curhat Sang Cucu

Curahan Hati Sang Cucu
Curhat Sang Cucu
Sudah sekitar lima tahun, mbah Putri meninggalkan aku dan keluarga. Tapi entah mengapa, aku masih merasa mbah selalu bersamaku. Jika aku sedang ingin mengutarakan perasaanku, entah mengapa aku teringat “mbah”. Aku bisa merasakan beliau disana terdiam dan tersenyum manis mendengarkan semua curahan hatiku, seakan-akan beliau mengerti apa yang terjadi. Mungkin itu karena aku yang sulit mempercayai orang sebagai tempat curhatan atau karena aku yang belum bisa menerima beliau telah tiada.
Suara bel istirahat menyadarkanku akan dunia dan menghentikanku akan keluhan pada mbah tentang sekolah yang melelahkan. Istirahat kali ini, aku dan teman-teman di kelas memainkan permainan “True or Fight”. Dimana pemain harus memilih jujur atau tantangan ketika lagu berhenti di tangannya. Hingga lagu yang  ke-empat berhenti di tangan Dinda, seorang gadis yang cantik dan berjilbab.
“Aku memilih True” kata true dari mulut Dinda membuat semuanya bersemangat untuk menanyakan sesuatu, maka akupun bertanya lebih dahulu.
“Siapa yang kamu suka dikelas, din? Jujur yach..... dan apa alasan kamu suka dengan dia?” aku memandangnya sambil tersenyum penasaran.
“Hem... aku begitu memperhatikannya karena aku ingin merubahnya menjadi lebih baik dan tidak mau dia tinggal kelas” kata Dinda sambil tersenyum manis.
 Aku terdiam dan menatap mata teman disebelahku, tanpa kami semua bertanyapun sepertinya kami sudah mengetahui siapa orangnya.
“Mbah, aku menemukan lagi seorang gadis yang dapat menyukai seorang laki-laki dari kekurangannya bukan karena kelebihannya” curhatku kepada Mbah.
Setelah permainan itu dihentikan sementara, entah darimana teman laki-laki yang disukai Dinda mengetahui hal itu.
“Aku merasa sedikit tidak tenang dengan hal itu bahkan aku membencinya, mbah. Bukan  mbah, bukan karena aku menyukainya juga tapi aku takut temanku Dinda disakiti oleh dia”
Sebenarnya bukan hanya Dinda yang membuat aku terkejut, ketika permainan dilanjutkan pada istirahat ke-dua dan lagu berhenti di tangan Manda, seorang gadis pendiam yang pintar, berjilbab dan putri dari seorang lawyer.
“Aku pastinya pilih true” kata Manda tegas.
Mendengar itu aku begitu penasaran akan dirinya yang pendiam jadi aku langsung bertanya.
“Hem..Man, ada yang kamu suka gak di kelas ini dan berikan alasannya?” kataku penasaran.
“Aku mengaguminya karena kejujuran dan kesederhanaannya” kata Manda dengan sedikit memberi klu. Lalu aku terdiam dan berfikir dalam hati.
“Sedikit membingungkan, tapi yang aku tahu temen sekelas yang jujur dan sederhana hanya dia(Fika). Oh Tuhan, jadi Manda menyukainya. Sungguh aku tidak percaya, Manda dapat menyukai seorang laki-laki yang latar belakangnya begitu berbeda, dia tidak begitu tampan bahkan sepengetahuan teman-teman dan aku , dia pernah ngamen”.
“Mbah, aku menemukan satu lagi seorang perempuan yang mengagumi seorang laki-laki bukan dari materi dan fisik tapi dari sisi dalam hatinya. Mbah, aku terharu dan meneteskan air mata hati ini karena memiliki teman seperti Manda”.
Dari permainan itulah yang membuat aku mengetahui rahasia temen-teman kelasku dan perlahan-lahan menjawab pertanyaanku. Pertanyaan yang selama ini aku tanyakan kepada mbah, yang pastinya aku tahu mbah tidak akan pernah bisa secara langsung memberi jawabannya kepadaku. Aku tersentak kaget, terbangun dari duniaku dengan mbah karena bel berbunyi. Tiba-tiba aku teringat akan waktu yang tidak pernah berhenti sedangkan aku belum mengetahui jawabanya. “Tuhan, aku mohon tuntun aku” doaku dalam hati.
Aku begitu memperhatikan setiap langkahku menuju rumah hingga akupun terhenti. Tersadar akan dirinya yang telah berada di depanku, seorang  laki-laki bernama Rico yang pastinya aku mengenalnya dan dialah pertanyaanku. Entah mengapa aku terdiam dan ingin sekali memeluk mbah. Dia tersenyum kecil memandangku, seakan-akan dia ingin memperlihatkan dirinya baik-baik saja dan pastinya aku tahu dia membohongi dirinya sendiri. Sedangkan aku tidak bisa membohongi hatiku, tersenyum membalas senyumannya. Aku hanya bisa membalas dalam hati “sampai saat ini aku masih belum menemukan jawaban yang pasti”.
Waktu begitu  cepat  dari 2 minggu waktu yang diberikan Rico dan kini sisa 1 minggu. Sebenarnya pertanyaan terbesarku adalah apakah boleh memiliki perasaan ini kepadanya? Sedangkan terdapat benteng besar di depan yang menghalangi yaitu iman yang berbeda. Hingga ketika mentoring agama Islam di sekolah, aku tidak bisa lagi menahannya sendiri karena aku butuh jawaban. Lalu aku utarakan pertanyaanku kepada kaka mentoring yaitu kak Widya.
“Yang penting dalam berhubungan dengan orang yang berbeda agama dengan kita adalah tidak boleh memiliki persaan dimana kamu mengagung-agungkannya seakan-akan dia segalanya, sesungguhnya Yang Maha Agung hanya Allah SWT. Bahkan dalam agama, dengan lawan jenis saja kita tidak boleh memiliki persaaan karena adanya persaaan itu dapat mendatangkan nafsu” kata kak widya dengan jelas.
 Aku terdiam dan mengangguk-aguk kepala seraya mengerti akan penjelasan yang diberikan.
“Sekarang aku tahu jawabannya, mbah. Aku sudah tahu apa yang harus kulakukan selanjutnya setelah ini, ini hanya sedikit menyakitkan” kataku kepada Mbah yang tersenyum kepadaku seakan-akan beliau menyetujui apa yang akan aku lakukan.
Setelah pulang sekolah aku segera membuat janji kepada Rico untuk bertemu. Aku tidak butuh lagi waktu untuk brfikir karena aku sudah menemukan jawabannya. Sudah setengah jam aku menunggunya di Darkit (Dapur Kita) tempat makan yang biasa aku, Rico dan teman lainnya menghabiskan waktu bersama. Selama menunggu Rico datang aku kembali kedunia yang selama ini aku kunjungi.
“Setidaknya aku merasa lega, karena aku memiliki perasaan kepada rico bukan karena materi melainkan karena ingin mengubahnya agar dia lebih mengenal Tuhan karena yang kutahu selama ini dia jarang beribadah, walaupun  masalahnya aku berbeda agama. Aku tidak mungkin menyuruhnya pindah agama lalu aku ajarkan agama Islam kepadanya. Aku tidak ingin dia pindah agama karena manusia yang dicintainya bukan karena Tuhan. Jadi, satu-satunya cara yaitu tetap menyuruhnya melakukan hal-hal baik yang diajarkan agamanya dan selalu disampingnya sebagai teman. Aku harap dia mengerti, mbah”
Suara motor yang tidak asing aku dengar menyadarkanku akan duniaku itu. Rico berjalan menujuku dengan tatapan seakan-akan dia telah mengetahui apa yang akan aku katakan.
“Maaf Nis, aku terlambat. Hem.... kita makan dulu yach!” kata Rico sambil meletakkan helm di meja.
 Aku tahu dia berkata seperti itu karena ingin mengulurkan waktu, jadi aku hanya tersenyum kepadanya. Selama makan, suasana pada saat itu tidak begitu nyaman karena kami saling diam, hingga dia berkata.
“Hem.... sekarang aku siap mendengarkan” kata Rico sambil meletakkan sendok di piringnya.
Mataku langsung terpejam, jantungku tiba-tiba bekerja keras memompa darah. “Mengapa tiba-tiba aku yang tidak siap untuk berkata. Ya Allah, tolong aku!” kataku dalam hati sambil menghela nafas.
“Rico, pertanyaanmu tentang bagaimana perasaan Nisa.........hem...”
“Jangan bilang kalau Nisa masih sekolah dan ingin fokus dulu dengan pelajaran, karena Rico pasti menunggu Nisa. Hanya Rico minta berjanjilah Nisa tidak akan pernah mejauhi Rico” kata Rico yang memotong perkataanku.
 “Bukan hanya itu, co. Tapi........” kataku yang terhenti lagi karena Rico.
“Tentang iman kitakah?” kata Rico sambil menatapku.
Suasana begitu membuatku tidak nyaman untuk menjawab pertanyaannya dan seakan akan lagu Marcel – Peri Cintaku mengiringi suasana selama percakapan yang menambah kesedihanku.
di dalam hati ini hanya satu nama
yang ada di tulus hati ku ingini
kesetiaan yang indah takkan tertandingi
hanyalah dirimu satu peri cintaku
benteng begitu tinggi sulit untuk ku gapai

aku untuk kamu, kamu untuk aku
namun semua apa mungkin iman kita yang berbeda
Tuhan memang satu, kita yang tak sama
haruskah aku lantas pergi meski cinta takkan bisa pergi

bukankah cinta anugerah berikan aku kesempatan
tuk menjaganya sepenuh jiwa

“Mbah, aku ingin sekali mengatakan, aku percaya dengan agamaku dan kaupun percaya dengan agamamu, Tuhan kita memang satu dan perasaan kitapun telah satu, namun iman kita yang tak satu” Tapi sepertinya kata-kata itu begitu dewasa jadi aku hanya mengatakan yang mudah dimengerti.
“Dalam agamaku tidak ada hukum tentang pacaran jadi aku....” kataku mencoba beralasan.
“Aku akan mempelajari Islam, kamu tahu dulu ibuku seorang muslim jadi aku sedikit mengenal Islam, kamu bisa ajarkan aku tentang islam”. Rico menatapku serius.
“Rico..” kataku terdiam kaget dan membalas tatapannya.
Aku ingin sekali mengatakan, Nisa tidak punya hak untuk mengajarkan Rico tentang Islam, karena Rico mempelajari Islam karena Nisa bukan karena Allah SWT. Lagi-lagi kalimat itu terlalu dewasa bagiku jadi hanya terpendam di hati.
“Maaf, Nisa tidak punya perasaan lebih dari teman kepada Rico, dari dulu Nisa Nyaman dengan hubungan pertemanan kita”. Lalu aku pergi meninggalkanya sendiri di tempat itu.
Walaupun membohongi perasaan tapi setidaknya hanya hal itu yang bisa membuatnya menyerah. “mbah, aku harap dia mendapatkan seseorang yang lebih baik dari aku”.
Jakarta,24 januari 2011
Khoirun Nisa X3 (22)