Curhat Sang Cucu
Sudah
sekitar lima tahun, mbah Putri meninggalkan aku dan keluarga. Tapi
entah mengapa, aku masih merasa mbah selalu bersamaku. Jika aku sedang
ingin mengutarakan perasaanku, entah mengapa aku teringat “mbah”. Aku
bisa merasakan beliau disana terdiam dan tersenyum manis mendengarkan
semua curahan hatiku, seakan-akan beliau mengerti apa yang terjadi.
Mungkin itu karena aku yang sulit mempercayai orang sebagai tempat
curhatan atau karena aku yang belum bisa menerima beliau telah tiada.
Suara
bel istirahat menyadarkanku akan dunia dan menghentikanku akan keluhan
pada mbah tentang sekolah yang melelahkan. Istirahat kali ini, aku dan
teman-teman di kelas memainkan permainan “True or Fight”. Dimana pemain
harus memilih jujur atau tantangan ketika lagu berhenti di tangannya.
Hingga lagu yang ke-empat berhenti di tangan Dinda, seorang gadis yang cantik dan berjilbab.
“Aku
memilih True” kata true dari mulut Dinda membuat semuanya bersemangat
untuk menanyakan sesuatu, maka akupun bertanya lebih dahulu.
“Siapa
yang kamu suka dikelas, din? Jujur yach..... dan apa alasan kamu suka
dengan dia?” aku memandangnya sambil tersenyum penasaran.
“Hem...
aku begitu memperhatikannya karena aku ingin merubahnya menjadi lebih
baik dan tidak mau dia tinggal kelas” kata Dinda sambil tersenyum manis.
Aku terdiam dan menatap mata teman disebelahku, tanpa kami semua bertanyapun sepertinya kami sudah mengetahui siapa orangnya.
“Mbah,
aku menemukan lagi seorang gadis yang dapat menyukai seorang laki-laki
dari kekurangannya bukan karena kelebihannya” curhatku kepada Mbah.
Setelah permainan itu dihentikan sementara, entah darimana teman laki-laki yang disukai Dinda mengetahui hal itu.
“Aku merasa sedikit tidak tenang dengan hal itu bahkan aku membencinya, mbah. Bukan mbah, bukan karena aku menyukainya juga tapi aku takut temanku Dinda disakiti oleh dia”
Sebenarnya
bukan hanya Dinda yang membuat aku terkejut, ketika permainan
dilanjutkan pada istirahat ke-dua dan lagu berhenti di tangan Manda,
seorang gadis pendiam yang pintar, berjilbab dan putri dari seorang
lawyer.
“Aku pastinya pilih true” kata Manda tegas.
Mendengar itu aku begitu penasaran akan dirinya yang pendiam jadi aku langsung bertanya.
“Hem..Man, ada yang kamu suka gak di kelas ini dan berikan alasannya?” kataku penasaran.
“Aku
mengaguminya karena kejujuran dan kesederhanaannya” kata Manda dengan
sedikit memberi klu. Lalu aku terdiam dan berfikir dalam hati.
“Sedikit
membingungkan, tapi yang aku tahu temen sekelas yang jujur dan
sederhana hanya dia(Fika). Oh Tuhan, jadi Manda menyukainya. Sungguh aku
tidak percaya, Manda dapat menyukai seorang laki-laki yang latar
belakangnya begitu berbeda, dia tidak begitu tampan bahkan sepengetahuan
teman-teman dan aku , dia pernah ngamen”.
“Mbah,
aku menemukan satu lagi seorang perempuan yang mengagumi seorang
laki-laki bukan dari materi dan fisik tapi dari sisi dalam hatinya.
Mbah, aku terharu dan meneteskan air mata hati ini karena memiliki teman
seperti Manda”.
Dari
permainan itulah yang membuat aku mengetahui rahasia temen-teman
kelasku dan perlahan-lahan menjawab pertanyaanku. Pertanyaan yang selama
ini aku tanyakan kepada mbah, yang pastinya aku tahu mbah tidak akan
pernah bisa secara langsung memberi jawabannya kepadaku. Aku tersentak
kaget, terbangun dari duniaku dengan mbah karena bel berbunyi. Tiba-tiba
aku teringat akan waktu yang tidak pernah berhenti sedangkan aku belum
mengetahui jawabanya. “Tuhan, aku mohon tuntun aku” doaku dalam hati.
Aku
begitu memperhatikan setiap langkahku menuju rumah hingga akupun
terhenti. Tersadar akan dirinya yang telah berada di depanku, seorang laki-laki
bernama Rico yang pastinya aku mengenalnya dan dialah pertanyaanku.
Entah mengapa aku terdiam dan ingin sekali memeluk mbah. Dia tersenyum
kecil memandangku, seakan-akan dia ingin memperlihatkan dirinya
baik-baik saja dan pastinya aku tahu dia membohongi dirinya sendiri.
Sedangkan aku tidak bisa membohongi hatiku, tersenyum membalas
senyumannya. Aku hanya bisa membalas dalam hati “sampai saat ini aku
masih belum menemukan jawaban yang pasti”.
Waktu begitu cepat dari
2 minggu waktu yang diberikan Rico dan kini sisa 1 minggu. Sebenarnya
pertanyaan terbesarku adalah apakah boleh memiliki perasaan ini
kepadanya? Sedangkan terdapat benteng besar di depan yang menghalangi
yaitu iman yang berbeda. Hingga ketika mentoring agama Islam di sekolah,
aku tidak bisa lagi menahannya sendiri karena aku butuh jawaban. Lalu
aku utarakan pertanyaanku kepada kaka mentoring yaitu kak Widya.
“Yang
penting dalam berhubungan dengan orang yang berbeda agama dengan kita
adalah tidak boleh memiliki persaan dimana kamu mengagung-agungkannya
seakan-akan dia segalanya, sesungguhnya Yang Maha Agung hanya Allah SWT.
Bahkan dalam agama, dengan lawan jenis saja kita tidak boleh memiliki
persaaan karena adanya persaaan itu dapat mendatangkan nafsu” kata kak
widya dengan jelas.
Aku terdiam dan mengangguk-aguk kepala seraya mengerti akan penjelasan yang diberikan.
“Sekarang
aku tahu jawabannya, mbah. Aku sudah tahu apa yang harus kulakukan
selanjutnya setelah ini, ini hanya sedikit menyakitkan” kataku kepada
Mbah yang tersenyum kepadaku seakan-akan beliau menyetujui apa yang akan
aku lakukan.
Setelah
pulang sekolah aku segera membuat janji kepada Rico untuk bertemu. Aku
tidak butuh lagi waktu untuk brfikir karena aku sudah menemukan
jawabannya. Sudah setengah jam aku menunggunya di Darkit (Dapur Kita)
tempat makan yang biasa aku, Rico dan teman lainnya menghabiskan waktu
bersama. Selama menunggu Rico datang aku kembali kedunia yang selama ini
aku kunjungi.
“Setidaknya
aku merasa lega, karena aku memiliki perasaan kepada rico bukan karena
materi melainkan karena ingin mengubahnya agar dia lebih mengenal Tuhan
karena yang kutahu selama ini dia jarang beribadah, walaupun masalahnya
aku berbeda agama. Aku tidak mungkin menyuruhnya pindah agama lalu aku
ajarkan agama Islam kepadanya. Aku tidak ingin dia pindah agama karena
manusia yang dicintainya bukan karena Tuhan. Jadi, satu-satunya cara
yaitu tetap menyuruhnya melakukan hal-hal baik yang diajarkan agamanya
dan selalu disampingnya sebagai teman. Aku harap dia mengerti, mbah”
Suara
motor yang tidak asing aku dengar menyadarkanku akan duniaku itu. Rico
berjalan menujuku dengan tatapan seakan-akan dia telah mengetahui apa
yang akan aku katakan.
“Maaf Nis, aku terlambat. Hem.... kita makan dulu yach!” kata Rico sambil meletakkan helm di meja.
Aku
tahu dia berkata seperti itu karena ingin mengulurkan waktu, jadi aku
hanya tersenyum kepadanya. Selama makan, suasana pada saat itu tidak
begitu nyaman karena kami saling diam, hingga dia berkata.
“Hem.... sekarang aku siap mendengarkan” kata Rico sambil meletakkan sendok di piringnya.
Mataku
langsung terpejam, jantungku tiba-tiba bekerja keras memompa darah.
“Mengapa tiba-tiba aku yang tidak siap untuk berkata. Ya Allah, tolong
aku!” kataku dalam hati sambil menghela nafas.
“Rico, pertanyaanmu tentang bagaimana perasaan Nisa.........hem...”
“Jangan
bilang kalau Nisa masih sekolah dan ingin fokus dulu dengan pelajaran,
karena Rico pasti menunggu Nisa. Hanya Rico minta berjanjilah Nisa tidak
akan pernah mejauhi Rico” kata Rico yang memotong perkataanku.
“Bukan hanya itu, co. Tapi........” kataku yang terhenti lagi karena Rico.
“Tentang iman kitakah?” kata Rico sambil menatapku.
Suasana
begitu membuatku tidak nyaman untuk menjawab pertanyaannya dan seakan
akan lagu Marcel – Peri Cintaku mengiringi suasana selama percakapan
yang menambah kesedihanku.
di dalam hati ini hanya satu nama
yang ada di tulus hati ku ingini
kesetiaan yang indah takkan tertandingi
hanyalah dirimu satu peri cintaku
yang ada di tulus hati ku ingini
kesetiaan yang indah takkan tertandingi
hanyalah dirimu satu peri cintaku
benteng begitu tinggi sulit untuk ku gapai
aku untuk kamu, kamu untuk aku
namun semua apa mungkin iman kita yang berbeda
Tuhan memang satu, kita yang tak sama
haruskah aku lantas pergi meski cinta takkan bisa pergi
bukankah cinta anugerah berikan aku kesempatan
tuk menjaganya sepenuh jiwa
aku untuk kamu, kamu untuk aku
namun semua apa mungkin iman kita yang berbeda
Tuhan memang satu, kita yang tak sama
haruskah aku lantas pergi meski cinta takkan bisa pergi
bukankah cinta anugerah berikan aku kesempatan
tuk menjaganya sepenuh jiwa
“Mbah,
aku ingin sekali mengatakan, aku percaya dengan agamaku dan kaupun
percaya dengan agamamu, Tuhan kita memang satu dan perasaan kitapun
telah satu, namun iman kita yang tak satu” Tapi sepertinya kata-kata itu
begitu dewasa jadi aku hanya mengatakan yang mudah dimengerti.
“Dalam agamaku tidak ada hukum tentang pacaran jadi aku....” kataku mencoba beralasan.
“Aku
akan mempelajari Islam, kamu tahu dulu ibuku seorang muslim jadi aku
sedikit mengenal Islam, kamu bisa ajarkan aku tentang islam”. Rico
menatapku serius.
“Rico..” kataku terdiam kaget dan membalas tatapannya.
Aku
ingin sekali mengatakan, Nisa tidak punya hak untuk mengajarkan Rico
tentang Islam, karena Rico mempelajari Islam karena Nisa bukan karena
Allah SWT. Lagi-lagi kalimat itu terlalu dewasa bagiku jadi hanya
terpendam di hati.
“Maaf,
Nisa tidak punya perasaan lebih dari teman kepada Rico, dari dulu Nisa
Nyaman dengan hubungan pertemanan kita”. Lalu aku pergi meninggalkanya
sendiri di tempat itu.
Walaupun
membohongi perasaan tapi setidaknya hanya hal itu yang bisa membuatnya
menyerah. “mbah, aku harap dia mendapatkan seseorang yang lebih baik
dari aku”.
Jakarta,24 januari 2011
Khoirun Nisa X3 (22)